Kriteria Wali pernikahan untuk wanita muslimah

Salah satu syariat penting dalam islam adaslah pernikahan. Bahkan pada beberapa kesempatan disebutkan bahwa menikah adalah bagian dari Ibadah.

Tujuan pernikahan dalam islam adalah dalam rangka menjaga fitra dan menghindarkan dari fitnah yang bisa saja melanda siapapun, laki maupun perempuan.

Pembahasan terntang pernikahan ini bisa kita lihat dalam hadi seperti :

“Wahai para pemuda, ba rangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (se bagai tameng).”

Untuk melangsung pernikahan ini tentu ada syarat dan ketentuannya. Ada rukun nikah yang harus dipenuhi untuk melakukan pernikahan.

Khusus untuk pihak perempuan, setidaknya harus ada wali perempuan. Sedangkan rukun untuk menyelenggarakannya harus ada dua orang saksi dan ijab qabul.

Dalam islam, perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Tidak bisa menikah tanpa wali. Akan tetapi di izinkan orang selain wali untuk menikahnnya.

Biasanya ketika wali tidak ada, maka pihak KUA adakan mewakilkan pada wali nikah yang sudah di tunjuk. Walaupun saat ini ada jasa penghulu nikah diluar KUA.

Terkait denga rukun wali untuk puhak prempuan ini adalah keyakinan banyak ulama.

Aisyah RA berkata bahwa Rasu lullah pernah bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal.” Dalam HR Abu Daud, Nabi juga bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.”

Pada  bagian lain di isyaratkan bahwa syarat seorang wali bagi perempuan adalah :

Syarat sah menjadi wali yaitu lakilaki dan datang dari keluarga sang ayah, memiliki kesamaan agama, berakal, baligh, adil, dan merdeka.

Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghayah wa Taqrib mengurutkan siapa-siapa saja yang berhak dan masuk dalam prioritas untuk menjadi wali. Ia menyebut wali paling utama adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya.

Apabila tidak ada waris ashabah, maka hakim.

Daftar wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Apabila ayah kandung masih hidup, tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor berikutnya, kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka. Izin perwalian ini juga bisa diberikan kepada mereka yang tidak ada dalam daftar wali. Ini bila ingin tokoh masyarakat atau ulama setempat hadir dan pihak keluarga ingin ia menjadi wali nikah.

Seperti disebutkan sebelumnya, yang paling akhir bisa menjadi wali dan menikahkan seorang Muslimah adalah wali hakim. Wali hakim baru bisa digunakan jika memang tidak ada wali sahnya yang bisa menikahkan.

Adapun yang disebut sebagai wali hakim yaitu penguasa tempat dimana calon mempelai akan melangsungkan pernikahan. Dalam HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi disebut: “Sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.”

Begitulah islam mengatur tentang pernikahan seorang perempuan. Syariat ini dihadirkan Allah bukanlah untuk menyulitkan kita umat manusia, tetapi untuk kebaikan kita. Dunia maupun akhirat.